MERABA LAMBANG
SEJARAH BANTEN
KERATON
SUROSOWAN
Oleh Najla Putri
Mawaddah
Aku duduk di bangku samping pak supir.
Tak lupa headset yang selalu kubawa terpasang di kedua telingaku. Jari-jariku
sibuk menyentuh layar memilih-milih lagu yang ingin kudengarkan untuk menikmati
perjalanan. Dan lagu Isyana Saraswati yang berjudul Tetap Dalam Jiwa menjadi
lagu pilihan pertama yang kuputar selama perjalanan.
Pukul 14.00 WIB aku sampai di Keraton Kaibon. Walaupun kali pertama
aku menginjakkan kaki di tempat ini, beberapa menit kemudian aku langsung
meluncur ke Keraton Surosowan. Karena keraton itulah yang sebenarnya ingin kuabadikan
dalam kenangan dan tulisan. Langkah pertama aku menuju papan yang berdiri
bertuliskan “Keraton Surosowan” dan kupotret dengan kamera yang ada di
handphoneku.
Kameraku juga terarah untuk memotret benteng, lalu
tak disangka di tempat itu aku dipertemukan dengan anak-anak yang sedang
bermain sepeda mereka sepertinya. Mereka tersenyum padaku. Saat itulah aku
berani untuk membuka percakapan dengan mereka.
“Salah satu dari kalian, bisa fotoin Teteh?”
pintaku saat itu.
“Aku bisa, Teh!” seru salah satu dari mereka.
Dengan semangat aku memberikan handphone-ku dan memberikan petunjuk
kepada anak itu untuk memotretku. Anak itu mengerti, lalu aku bergaya seadanya
di depan benteng yang terdapat pintu gerbang di belakangku. Sebagai ucapan
terima kasih, aku juga memotret mereka yang sudah bergaya lucu ala anak zaman
sekarang.
Ternyata tak sampai di sini, mereka mau membantuku
memasuki keraton. Kata mereka pintu gerbang keraton selalu dikunci, aku hanya
bisa mengangguk paham dengan informasi mereka, walaupun sedikit kecewa karena
tidak bisa masuk melalui pintu gerbang. Tapi mereka memberitahuku untuk bisa
masuk ke dalam dengan cara menaiki tangga kayu yang sudah berdiri di dinding yang
sedikit jauh dari gerbang keraton.
Aku meneguk ludah dengan berat. Aku sudah lupa
bagaimana caranya memanjat. Apalagi saat ini aku harus memanjat sebuah benteng
dengan tangga kayu. Aku takut tangga itu jatuh dan tidak seimbang saat kunaiki.
Namun, anak-anak itu ternyata tak kehilangan akal untuk merayuku. Akhirnya aku
menurut. Kami berlari menuju tempat tangga itu berdiri. Sesampainya di sana,
dua orang dari mereka menaiki tangga terlebih dahulu dan memegangi tangga,
mencoba membantuku saat menaiki tangga. Lalu dua orang yang lain ikut memegangi
tangga di bawah, dan naik setelahku. Mereka benar-benar baik.
Mataku tak berhenti berkedip saat menatap suasana
dalam Keraton Surosowan ini. Bukti sejarah ini masih ada walaupun benteng ini
sudah berpuluh-puluh tahun rusak. Aku melirik tempat yang dulu katanya adalah
sebuah kolam bernama Rara Denok. Ternyata semakin berlalunya waktu, kolam itu terlihat
kering dan berlumut. Dari atas benteng yang aku pijak ini, aku bisa melihat
jelas dua buah gerbang yang katanya adalah gerbang masuk. Walaupun bingung,
kalaupun ada pintu gerbangnya kenapa aku harus menaiki tangga untuk berada di
dalam keraton? Masing-masing gerbang itu ada di sisi timur, dan utara. Kata
anak kecil yang menemaniku, sebenarnya di sebelah selatan ada gerbang masuk
sebelumnya. Namun ditutupi oleh tembok yang tidak diketahui apa penyebabnya.
Anak-anak kecil yang menemaniku mengajakku untuk
turun berkeliling menginjak tanah keraton. Aku mengikuti langkah mereka,
mencoba berjalan menyeberangi tangga yang terbuat dari bata dan karang itu
dengan hati-hati. Tak disangka kami dipertemukan oleh bapak setengah baya yang
sedang membersihkan rumput liar di sekitar keraton. Aku mencoba mendekatinya
dan membuka percakapan dengan bapak itu, tak lupa untuk bersalaman terlebih
dahulu.
Awalnya aku mengenalkan diri sebagai mahasiswi kampus
IAIN SMH Banten yang ada di Ciceri dan berkeinginan menulis tentang Keraton
Surosowan ini. Bapak itu menanggapi dengan ramah. Beliau juga mengenalkan diri,
namanya Pak Fuad. Aku meminta waktu beberapa menit padanya untuk diwawancara,
dan bapak itu bersedia dan mulai menceritakan sedikit demi sedikit sejarah yang
pernah diketahuinya.
Sebenarnya yang dijelaskan Pak Fuad hampir sama
dengan buku sejarah yang pernah aku baca. Bahwa Keraton Surosowan ini dibangun
sekitar tahun 1522-1526 pada masa Pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, yang
kita kenal sebagai Pendiri Kesultanan Banten.
Pada masa penguasa berikutnya, bangunan keraton
ini ditingkatkan lagi. Bahkan katanya sampai melibatkan sosok ahli bangunan
asal Belanda pada masa itu. Sosok ahli bangunan itu bernama Hendrik Lucasz
Cardeel. Dia seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan bergelar Pangeran
Wiguna. Ternyata arsitek yang mengukir sejarah ini adalah seorang muslim.
Katanya, dinding pembatas yang kulihat ini,
dibangun setinggi 2 meter dan mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3
hektare. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion atau
biasa dikenal sudut benteng yang berbentuk intan di empat sudut bangunannya.
Karena itu pulalah pada masa jayanya Banten disebut Kota Intan.
Sekarang, yang aku lihat bangunan di dalam dinding
keraton tak lagi utuh seiring berjalannya waktu. Hanya menyisakan runtuhan
dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Dari buku sejarah yang pernah kubaca, Keraton
Surosowan ini dibangun dari kata “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis” yang artinya
“Membangun Kota dan Perbentengan dari Bata dan Karang”. Takluknya Prabu Pucuk
Umum di Wahanten Girang, kalau kita biasa mengenalnya dengan daerah Banten
Girang di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang. Wahanten Girang itu sendiri
merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan,
sekarang kita mengenalnya dengan wilayah Pakuan Bogor pada
tahun 1525. Lalu Wahanten Girang menjadi sumber dimulainya masa Banten sebagai
Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah
pelosok atau pedalaman sampai daerah pesisir pada tanggal 1 Muharram 933
Hijriyah bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526.
Berkat pemahaman geo politik, Sunan Gunung Jati
menentukan posisi keraton, benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di
dekat kuala Sungai Banten yang kita kenal bernama Keraton Surosowan. Dalam
waktu 26 tahun itu Banten menjadi maju yang tadinya pada tahun 1525 hanya
sebuah Kadipaten berubah menjadi Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Pangeran
Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin
Penembahan Surosowan.
Kini, aku bisa merasakan miris ketika menikmati
Keraton Surosowan ini. Setelah diruntuhkan Belanda, keraton ini bersisa
puing-puing. Mungkin karena dasyatnya perjuangan masyarakat Banten pada masa
itu.
Setelah asyik dan banyak mengobrol dengan Bapak
Fuad, dan berkeliling di sekitar keraton selama kurang lebih 2 jam, aku
mengajak anak-anak yang menemaniku itu untuk meninggalkan keraton dan turun.
Tak lupa aku berpamitan dan bersalaman padanya.
Sebenarnya
ada rasa penasaran ingin memasuki sebuah goa yang tak jauh dari gerbang utama.
Namun, anak-anak itu mencegahku dan mengatakan bahwa goa itu seram. Karena itu
aku tidak terlalu melangkahkan kaki kedalam, hanya melihat suasananya saja dari
luar goa, dan tak disangka aku pun bisa merasakan hawa seram itu.
Aku menggandeng anak-anak itu, mengajak turun dan
beristirahat di amben warung yang ada di samping keraton. Mereka nurut dan
kembali membantuku turun. Sesampainya dibawah, kami justru memutuskan untuk berpisah.
Mereka pamit ingin bermain futsall. Aku mengerti, karena itu aku mengangguk
lalu tersenyum dan berterima kasih karena mereka sudah mau berlama-lama
menemaniku memasuki Keraton. Padahal aku ingin membelikan mereka es dan masih
ingin mengajak mereka mengobrol tentang apapun itu.
“Abis neliti buat tugas ya, Neng?” tanya ibu
pemilik warung yang aku singgahi itu.
Aku mengangguk saja dan tersenyum, lalu kami
berkenalan. Ibu itu ternyata bernama Suella. Aku mencoba menanyakan tentang
sejarah Keraton Surosowan tapi beliau berkata “Ibu lupa neng. Dulu waktu ibu SD
ibu punya buku sejarah bantennya, tapi ibu udah lupa naruhnya dimana.”
Dalam hati aku ingin sekali tertawa. Kenyataannya
aku hanya nyengir menanggapi. Jelas saja Bu Suella lupa naruh. Umurnya sekarang
saja mungkin sudah kepala empat puluhan, dan buku sejarah miliknya itu adalah
buku waktu ia duduk di bangku sekolah dasar. Mungkin bukan lupa naruh, tapi
sudah hilang entah kemana. Bisa saja lucunya Bu Suella ini.
Aku memesan bakso dan es nutrisari padanya.
Bagaimanapun juga, waktu dua jam berkeliling dan berbicara di sekitar keraton,
aku kembali membutuhkan asupan gizi untuk perutku.
“Pernah tuh neng minggu lalu ada yang kesurupan di
warung ibu di amben yang neng duduki itu.” ceritanya saat itu. Deg. Aku sedikit
kaget dan terlonjak dengan ucapannya karena ibu itu berkata tempat yang aku
duduki ini pernah menjadi tempat orang kesurupan.
“Kok bisa kesurupan Bu?” tanyaku penasaran.
“Katanya sih gara-gara abis masuk ke goa yang ada
di dekat gerbang masuk sebelah sana neng!” ibu itu memberitahu sambil menunjuk
gerbang yang ternyata goa yang dimaksud ibu itu adalah goa yang hampir aku
masuki. Entah mengapa aku jadi merasa merinding dan bergidik ngeri. Pantas saja
anak-anak kecil yang menemaniku itu mengatakan goa itu seram. Sepertinya mereka
tahu cerita ini.
“Gimana kesurupannya Bu?” tanyaku yang semakin
penasaran.
“Kayak ayan gitu neng terus teriak-teriak.
Makannya pas tau dia kesurupan ibu langsung manggil ustadz yang tinggal disini.
Katanya orang yang kesurupan itu abis masuk goa yang disitu terus nantang dan
teriak-teriak didalamnya. Mungkin penunggu goa itu merasa terganggu, makannya
dia kesurupan. Bagaimanapun juga kan kita sebagai tamu harus bisa juga
menghormati penunggu yang dunianya bukan sama kayak kita, Neng!” terang Bu
Suella panjang lebar. Kini aku semakin mengerti. Untung saja aku tidak seperti
pengunjung yang Bu Suella ceritakan ini. Walaupun penasaran, aku tidak senekat
orang itu, apalagi sampai teriak-teriak menantang seperti itu. Allhamdulillah,
Allah masih melindungiku saat itu dari sosok-sosok yang bagaimanapun juga tidak
terlihat di duniaku. Bagaimanapun juga, Keraton Surosowan ini sudah sangat lama
umurnya. Sangat bersejarah. Wajar jika ada hawa mistisnya juga. Dalam sejarah
itu pun ada cerita soal kematian-kematian beberapa masyarakat Banten dan orang
berkebangsaan Belanda saat berperang waktu itu.
Aku kembali melahap bakso yang kini sedikit menghangat karena
diselingi percakapan dengan ibu pemilik warung yang aku singgahi ini. Setelah
selesai menghabiskan bakso dan es nutrisari, aku melihat jam di pergelangan
tanganku sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB.
Sepertinya aku sudah terlalu lama di tempat ini, hingga lupa waktu.
Aku menatap Bu Suella. Membayar, lalu pamit untuk pulang.
Tak lupa aku menjumpai anak-anak yang tadi menemaniku berkeliling keraton untuk
pamit pulang. Mereka mengangguk dan mengucapkan senang bisa mengenalku dan
diajak bermain juga belajar sejarah denganku. Mereka menyalamiku dan melepasku
pulang karena saat itu, angkot yang akan mengantarku sudah terlihat di dekat papan
bertuliskan “Keraton Surosowan”.
Sungguh, aku senang bisa melewatkan momen perjalanan seperti ini.
Mengupas sejarah dan berkenalan dengan orang-orang baru adalah satu hal yang
menyenangkan. Aku berharap, bisa mengunjungi tempat itu lagi walaupun nanti
dengan niatan yang berbeda. Semoga.
Rincian Pengeluaran :
1.
Untuk menuju
Banten Lama, aku dengan teman-temanku yang lain iuran untuk menyarter angkot.
Kami iuran per orang Rp. 16.000 untuk 10 orang penumpang yang duduk dalam
angkot. Jadi pembayaran ongkos untuk menyarter angkot sebesar Rp. 160.000.
2.
Di Keraton
Surosowan terdapat warung kecil yang menjual minuman, bakso, dan mie ayam.
Harga bakso yang kubeli sebesar Rp. 8000 dan es nutrisari sebesar Rp.3000. Jadi jika disatukan, aku membayar sebesar
Rp.11.000.
Tips
Menuju Keraton Surosowan :
1.
Pakai Sunblock,
karena suasana yang gersang dan matahari yang menyengat cukup membuat kulit
terlihat gelap.
2.
Bawa tripod
atau tongsis, karena berfoto tak akan bagus jika hanya menggunakan tangan
sebagai alat bantu. Dua alat itu, setidaknya bisa memaksimalkan kita untuk
hunting foto.
3.
Air mineral
untuk berjaga-jaga saat kita merasa haus saat mengelilingi keraton.
4.
Sering membaca
beberapa ayat Al-Qur’an karena yang namanya tempat bersejarah tidak
memungkinkan kita bisa tidak terganggu dengan sosok-sosok dunia lain selain
kita.
5.
Bawa buku dan
alat tulis untuk mencatat hal-hal penting yang harus ditulis. Karena penulis
catatan perjalanan seperti kita, sangat butuh dan dekat dengan kedua benda itu
untuk membantu menyimpan informasi yang didapat.