widget

Rabu, 27 Juli 2016

Travel Writing Part 1

MERABA LAMBANG SEJARAH BANTEN
KERATON SUROSOWAN
Oleh Najla Putri Mawaddah

Aku duduk di bangku samping pak supir. Tak lupa headset yang selalu kubawa terpasang di kedua telingaku. Jari-jariku sibuk menyentuh layar memilih-milih lagu yang ingin kudengarkan untuk menikmati perjalanan. Dan lagu Isyana Saraswati yang berjudul Tetap Dalam Jiwa menjadi lagu pilihan pertama yang kuputar selama perjalanan.
Pukul 14.00 WIB aku sampai di Keraton Kaibon. Walaupun kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat ini, beberapa menit kemudian aku langsung meluncur ke Keraton Surosowan. Karena keraton itulah yang sebenarnya ingin kuabadikan dalam kenangan dan tulisan. Langkah pertama aku menuju papan yang berdiri bertuliskan “Keraton Surosowan” dan kupotret dengan kamera yang ada di handphoneku.
Kameraku juga terarah untuk memotret benteng, lalu tak disangka di tempat itu aku dipertemukan dengan anak-anak yang sedang bermain sepeda mereka sepertinya. Mereka tersenyum padaku. Saat itulah aku berani untuk membuka percakapan dengan mereka.
“Salah satu dari kalian, bisa fotoin Teteh?” pintaku saat itu.
“Aku bisa, Teh!” seru salah satu dari mereka. Dengan semangat aku memberikan handphone-ku dan memberikan petunjuk kepada anak itu untuk memotretku. Anak itu mengerti, lalu aku bergaya seadanya di depan benteng yang terdapat pintu gerbang di belakangku. Sebagai ucapan terima kasih, aku juga memotret mereka yang sudah bergaya lucu ala anak zaman sekarang.
Ternyata tak sampai di sini, mereka mau membantuku memasuki keraton. Kata mereka pintu gerbang keraton selalu dikunci, aku hanya bisa mengangguk paham dengan informasi mereka, walaupun sedikit kecewa karena tidak bisa masuk melalui pintu gerbang. Tapi mereka memberitahuku untuk bisa masuk ke dalam dengan cara menaiki tangga kayu yang sudah berdiri di dinding yang sedikit jauh dari gerbang keraton.
Aku meneguk ludah dengan berat. Aku sudah lupa bagaimana caranya memanjat. Apalagi saat ini aku harus memanjat sebuah benteng dengan tangga kayu. Aku takut tangga itu jatuh dan tidak seimbang saat kunaiki. Namun, anak-anak itu ternyata tak kehilangan akal untuk merayuku. Akhirnya aku menurut. Kami berlari menuju tempat tangga itu berdiri. Sesampainya di sana, dua orang dari mereka menaiki tangga terlebih dahulu dan memegangi tangga, mencoba membantuku saat menaiki tangga. Lalu dua orang yang lain ikut memegangi tangga di bawah, dan naik setelahku. Mereka benar-benar baik.
Mataku tak berhenti berkedip saat menatap suasana dalam Keraton Surosowan ini. Bukti sejarah ini masih ada walaupun benteng ini sudah berpuluh-puluh tahun rusak. Aku melirik tempat yang dulu katanya adalah sebuah kolam bernama Rara Denok. Ternyata semakin berlalunya waktu, kolam itu terlihat kering dan berlumut. Dari atas benteng yang aku pijak ini, aku bisa melihat jelas dua buah gerbang yang katanya adalah gerbang masuk. Walaupun bingung, kalaupun ada pintu gerbangnya kenapa aku harus menaiki tangga untuk berada di dalam keraton? Masing-masing gerbang itu ada di sisi timur, dan utara. Kata anak kecil yang menemaniku, sebenarnya di sebelah selatan ada gerbang masuk sebelumnya. Namun ditutupi oleh tembok yang tidak diketahui apa penyebabnya.
Anak-anak kecil yang menemaniku mengajakku untuk turun berkeliling menginjak tanah keraton. Aku mengikuti langkah mereka, mencoba berjalan menyeberangi tangga yang terbuat dari bata dan karang itu dengan hati-hati. Tak disangka kami dipertemukan oleh bapak setengah baya yang sedang membersihkan rumput liar di sekitar keraton. Aku mencoba mendekatinya dan membuka percakapan dengan bapak itu, tak lupa untuk bersalaman terlebih dahulu.
Awalnya aku mengenalkan diri sebagai mahasiswi kampus IAIN SMH Banten yang ada di Ciceri dan berkeinginan menulis tentang Keraton Surosowan ini. Bapak itu menanggapi dengan ramah. Beliau juga mengenalkan diri, namanya Pak Fuad. Aku meminta waktu beberapa menit padanya untuk diwawancara, dan bapak itu bersedia dan mulai menceritakan sedikit demi sedikit sejarah yang pernah diketahuinya.
Sebenarnya yang dijelaskan Pak Fuad hampir sama dengan buku sejarah yang pernah aku baca. Bahwa Keraton Surosowan ini dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa Pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, yang kita kenal sebagai Pendiri Kesultanan Banten.
Pada masa penguasa berikutnya, bangunan keraton ini ditingkatkan lagi. Bahkan katanya sampai melibatkan sosok ahli bangunan asal Belanda pada masa itu. Sosok ahli bangunan itu bernama Hendrik Lucasz Cardeel. Dia seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan bergelar Pangeran Wiguna. Ternyata arsitek yang mengukir sejarah ini adalah seorang muslim.
Katanya, dinding pembatas yang kulihat ini, dibangun setinggi 2 meter dan mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektare. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion atau biasa dikenal sudut benteng yang berbentuk intan di empat sudut bangunannya. Karena itu pulalah pada masa jayanya Banten disebut Kota Intan.
Sekarang, yang aku lihat bangunan di dalam dinding keraton tak lagi utuh seiring berjalannya waktu. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Dari buku sejarah yang pernah kubaca, Keraton Surosowan ini dibangun dari kata “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis” yang artinya “Membangun Kota dan Perbentengan dari Bata dan Karang”. Takluknya Prabu Pucuk Umum di Wahanten Girang, kalau kita biasa mengenalnya dengan daerah Banten Girang di Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang. Wahanten Girang itu sendiri merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan, sekarang kita mengenalnya dengan wilayah Pakuan Bogor pada tahun 1525. Lalu Wahanten Girang menjadi sumber dimulainya masa Banten sebagai Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah pelosok atau pedalaman sampai daerah pesisir pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526.
Berkat pemahaman geo politik, Sunan Gunung Jati menentukan posisi keraton, benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kita kenal bernama Keraton Surosowan. Dalam waktu 26 tahun itu Banten menjadi maju yang tadinya pada tahun 1525 hanya sebuah Kadipaten berubah menjadi Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Pangeran Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Penembahan Surosowan.
Kini, aku bisa merasakan miris ketika menikmati Keraton Surosowan ini. Setelah diruntuhkan Belanda, keraton ini bersisa puing-puing. Mungkin karena dasyatnya perjuangan masyarakat Banten pada masa itu.
Setelah asyik dan banyak mengobrol dengan Bapak Fuad, dan berkeliling di sekitar keraton selama kurang lebih 2 jam, aku mengajak anak-anak yang menemaniku itu untuk meninggalkan keraton dan turun. Tak lupa aku berpamitan dan bersalaman padanya.
 Sebenarnya ada rasa penasaran ingin memasuki sebuah goa yang tak jauh dari gerbang utama. Namun, anak-anak itu mencegahku dan mengatakan bahwa goa itu seram. Karena itu aku tidak terlalu melangkahkan kaki kedalam, hanya melihat suasananya saja dari luar goa, dan tak disangka aku pun bisa merasakan hawa seram itu.
Aku menggandeng anak-anak itu, mengajak turun dan beristirahat di amben warung yang ada di samping keraton. Mereka nurut dan kembali membantuku turun. Sesampainya dibawah, kami justru memutuskan untuk berpisah. Mereka pamit ingin bermain futsall. Aku mengerti, karena itu aku mengangguk lalu tersenyum dan berterima kasih karena mereka sudah mau berlama-lama menemaniku memasuki Keraton. Padahal aku ingin membelikan mereka es dan masih ingin mengajak mereka mengobrol tentang apapun itu.
“Abis neliti buat tugas ya, Neng?” tanya ibu pemilik warung yang aku singgahi itu.
Aku mengangguk saja dan tersenyum, lalu kami berkenalan. Ibu itu ternyata bernama Suella. Aku mencoba menanyakan tentang sejarah Keraton Surosowan tapi beliau berkata “Ibu lupa neng. Dulu waktu ibu SD ibu punya buku sejarah bantennya, tapi ibu udah lupa naruhnya dimana.”
Dalam hati aku ingin sekali tertawa. Kenyataannya aku hanya nyengir menanggapi. Jelas saja Bu Suella lupa naruh. Umurnya sekarang saja mungkin sudah kepala empat puluhan, dan buku sejarah miliknya itu adalah buku waktu ia duduk di bangku sekolah dasar. Mungkin bukan lupa naruh, tapi sudah hilang entah kemana. Bisa saja lucunya Bu Suella ini.
Aku memesan bakso dan es nutrisari padanya. Bagaimanapun juga, waktu dua jam berkeliling dan berbicara di sekitar keraton, aku kembali membutuhkan asupan gizi untuk perutku.
“Pernah tuh neng minggu lalu ada yang kesurupan di warung ibu di amben yang neng duduki itu.” ceritanya saat itu. Deg. Aku sedikit kaget dan terlonjak dengan ucapannya karena ibu itu berkata tempat yang aku duduki ini pernah menjadi tempat orang kesurupan.
“Kok bisa kesurupan Bu?” tanyaku penasaran.
“Katanya sih gara-gara abis masuk ke goa yang ada di dekat gerbang masuk sebelah sana neng!” ibu itu memberitahu sambil menunjuk gerbang yang ternyata goa yang dimaksud ibu itu adalah goa yang hampir aku masuki. Entah mengapa aku jadi merasa merinding dan bergidik ngeri. Pantas saja anak-anak kecil yang menemaniku itu mengatakan goa itu seram. Sepertinya mereka tahu cerita ini.
“Gimana kesurupannya Bu?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Kayak ayan gitu neng terus teriak-teriak. Makannya pas tau dia kesurupan ibu langsung manggil ustadz yang tinggal disini. Katanya orang yang kesurupan itu abis masuk goa yang disitu terus nantang dan teriak-teriak didalamnya. Mungkin penunggu goa itu merasa terganggu, makannya dia kesurupan. Bagaimanapun juga kan kita sebagai tamu harus bisa juga menghormati penunggu yang dunianya bukan sama kayak kita, Neng!” terang Bu Suella panjang lebar. Kini aku semakin mengerti. Untung saja aku tidak seperti pengunjung yang Bu Suella ceritakan ini. Walaupun penasaran, aku tidak senekat orang itu, apalagi sampai teriak-teriak menantang seperti itu. Allhamdulillah, Allah masih melindungiku saat itu dari sosok-sosok yang bagaimanapun juga tidak terlihat di duniaku. Bagaimanapun juga, Keraton Surosowan ini sudah sangat lama umurnya. Sangat bersejarah. Wajar jika ada hawa mistisnya juga. Dalam sejarah itu pun ada cerita soal kematian-kematian beberapa masyarakat Banten dan orang berkebangsaan Belanda saat berperang waktu itu.
Aku kembali melahap bakso yang kini sedikit menghangat karena diselingi percakapan dengan ibu pemilik warung yang aku singgahi ini. Setelah selesai menghabiskan bakso dan es nutrisari, aku melihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB.  Sepertinya aku sudah terlalu lama di tempat ini, hingga lupa waktu.
            Aku menatap Bu Suella. Membayar, lalu pamit untuk pulang. Tak lupa aku menjumpai anak-anak yang tadi menemaniku berkeliling keraton untuk pamit pulang. Mereka mengangguk dan mengucapkan senang bisa mengenalku dan diajak bermain juga belajar sejarah denganku. Mereka menyalamiku dan melepasku pulang karena saat itu, angkot yang akan mengantarku sudah terlihat di dekat papan bertuliskan “Keraton Surosowan”.
Sungguh, aku senang bisa melewatkan momen perjalanan seperti ini. Mengupas sejarah dan berkenalan dengan orang-orang baru adalah satu hal yang menyenangkan. Aku berharap, bisa mengunjungi tempat itu lagi walaupun nanti dengan niatan yang berbeda. Semoga.
Rincian Pengeluaran :
1.      Untuk menuju Banten Lama, aku dengan teman-temanku yang lain iuran untuk menyarter angkot. Kami iuran per orang Rp. 16.000 untuk 10 orang penumpang yang duduk dalam angkot. Jadi pembayaran ongkos untuk menyarter angkot sebesar Rp. 160.000.
2.      Di Keraton Surosowan terdapat warung kecil yang menjual minuman, bakso, dan mie ayam. Harga bakso yang kubeli sebesar Rp. 8000 dan es nutrisari sebesar Rp.3000.  Jadi jika disatukan, aku membayar sebesar Rp.11.000.
Tips Menuju Keraton Surosowan :
1.      Pakai Sunblock, karena suasana yang gersang dan matahari yang menyengat cukup membuat kulit terlihat gelap.
2.      Bawa tripod atau tongsis, karena berfoto tak akan bagus jika hanya menggunakan tangan sebagai alat bantu. Dua alat itu, setidaknya bisa memaksimalkan kita untuk hunting foto.
3.      Air mineral untuk berjaga-jaga saat kita merasa haus saat mengelilingi keraton.
4.      Sering membaca beberapa ayat Al-Qur’an karena yang namanya tempat bersejarah tidak memungkinkan kita bisa tidak terganggu dengan sosok-sosok dunia lain selain kita.

5.      Bawa buku dan alat tulis untuk mencatat hal-hal penting yang harus ditulis. Karena penulis catatan perjalanan seperti kita, sangat butuh dan dekat dengan kedua benda itu untuk membantu menyimpan informasi yang didapat.